YAYUK

admin
admin Agustus 13, 2022
Updated 2024/08/29 at 10:56 PM

Cerpen

Oleh : Poedianto

Hari masih pagi, kamar kos-kosan aku ketuk sembari kupanggil nama pengguninya, dari dalam terdengar suara pelan, “masuk mas.” Kudorong pintu kos-kosan, dan berbunyi, “kriyeeet.” Yayuk tidur dengan posisi miring. Kutempelkan telapak tanganku ke lehernya, badannya panas dan mukanya pucat. “Sudah makan kamu Yuk,” tanyaku. Yayuk menggeleng lemah dengan mata memejam. Aku lihat sekeliling kamar kos, di pojok kamar ada sisa makanan dalam piring. Aku melihat ada jaket yang menggantung di tembok, aku ambil dan aku kibaskan, lalu aku tutupkan ke badannya. Aku merogoh sapu tangan di saku belakang celana, aku basahi, aku peras lalu aku taruh di atas keningnya. “Aku keluar bentar ya, beli obat dan makanan. Lontong mie ya.” Yayuk mengangguk lemah.

Sepeda motor aku stater, dan keluar gang kampung menuju pasar untuk membeli kebutuhan buat Yayuk.
Ternyata warung lontong mie sudah banyak pembeli yang menungg giliran dilayani.

Ada dua gadis seusia Yayuk dengan memakai seragam pabrik, duduk di bangku panjang dalam warung. Dua gadis itu sedang menikmati lontong mie dengan lahapnya. Aku berpikir, mungkin pola makan Yayuk tidak teratur. Apalagi kalau sibuk kerja Yayuk sering lupa makan.

Pabrik tempat Yayuk kerja, memberlakukan tiga shif waktu kerja. Masuk pagi pulang sore. Masuk sore pulang malam. Masuk malam pulang pagi. Yayuk fisiknya lemah. Badannya kecil, kurus dan mudah capek. Karenanya, setelah pulang kerja Yayuk langsung tidur di kosnya.

Karena semangatnya yang besar saja, Yayuk meninggalkan desanya untuk bekerja di kota. Memang Yayuk baru setahun kerja di pabrik. Ketika aku tanyakan kenapa kerja di pabrik, jawabnya, untuk mencari pengalaman. Yayuk lulus dari SMA negeri ternama di kabupaten asal kelahirannya. Karena orang tuanya buruh tani, maka Yayuk tidak bisa kuliah. Terus bersama teman desanya pergi ke kota ini untuk bekerja di pabrik. Tetapi rupanya Yayuk menyadari fisiknya lemah untuk kerja di pabrik. “Aku akan mencari pekerjaan yang lain mas,” katanya saat aku antar pulang ke desanya.

“Di pabrik aku kerja, sistemnya kontrak. Jenis pekerjaannya borongan. Setiap buruh pabrik yang satu bagian dengan aku, selalu memacu mengumpulkan garapannya sebanyak-banyaknya,” terang Yayuk.

“Tetapi sistem kontrak itu tidak boleh diberlakukan untuk semua jenis pekerjaan,” kataku. Yayuk diam saja karena kurang paham

“Seperti di pabrikmu itu, sebenarnya tidak boleh pakai sistem kontrak. Wong pekerjaanya ada terus-menerus, tidak putus. Selalu memproduksi semenjak pabrik itu berdiri. Yang boleh pakai sistem kontrak apabila jenis pekerjaanya tidak tetap, tidak terus menerus. Misalnya, buruh bangunan, buruh tebang tebu, buruh bangun jembatan, buruh bangun jalan, atau buruh lainnya yang jenis pekerjaanya tidak terus-menerus. Itu yang boleh pakai sistem kontrak. Artinya, bila pekerjaanya selesai, maka selesai pula hubungan kerjanya,” kataku lagi. Yayuk mengangguk, tanda mengerti yang aku terangkan.

Dan tiba-tiba aku sadar dari lamunanku, tatkala ibu penjual lontong mie memanggilku.
“Mas, mas, ini lontong mienya,” ibu penjual lontong mie mengulurkan satu tenteng tas kresek hitam berisi dua bungkus lontong mie. Aku memberikan beberapa lembar uang kepada penjual lontong mie.

Aku menjauh dari warung lontong mie. Kemudian membeli pisang kepok merah, telor asin, roti, air minum dalam botol, juga membeli selimut di toko baju. Lalu mampir ke apotek beli obat.


Selang tak seberapa lama, unjuk rasa besar-besaran terjadi. Hari Buruh. Semua konsentrasi massa buruh dipusatkan di depan kantor gubernur. Kaum buruh dari kabupaten-kabupaten terdekat naik sepeda motor sambil berboncengan memenuhi jalan-jalan. Kemacetan tak terhindarkan. Aneka seragam pabrik dikenakan, aneka bendera dilambai-lambaikan dengan peluh bercucuran. Yel-yel buruh diteriakkan. Deru mesin motor, asap knalpot, debu jalanan, kesemuanya menambah gerah siang itu.

Semua petugas keamanan berjajar dengan sigap di sepanjang pagar gedung gubernur. Para petugas membawa peralatan preventif. Tameng dan pentungan. Kaum buruh penuh sesak, berdiri berjubel menghadap persis di depan pintu halaman kantor gebernuran. Orasi bergantian disuarakan dari beberapa pimpinan buruh. Mereka menuntut kesejahteraan buruh, hari kerja, upah minimum, penghapusan sistem kontrak, jaminan kesehatan, jaminan pensiun, jaminan kelangsungan sekolah bagi putra-putri buruh.dan tuntutan-tuntutan lainnya yang dibutuhkan kaum buruh.

Menjelang senja, buruh sudah puas dengan tuntutannya, walaupun hanya ditemui pejabat tingkat dinas saja. Kemudian kaum buruh meninggalkan halaman kantor gebernuran. Mereka kembali ke kabupaten asal kerjanya masing-masing. Aku membonceng Yayuk dengan masih memakai seragam pabrik yang sudah kotor dan lusuh. Kembali ke kos-kosan.

Di tikungan jalan, ada penjual es tebu. Berkerumun para buruh untuk antre membeli. Aku pelankan laju sepeda motorku dengan maksud ingin membeli juga. Yayuk menjawil perutku dengan berbisik ditelingaku. “Beli es di warung biasanya saja mas,” suara pelan Yayuk.

Di perempatan jalan, teman-temanku se-pabrik memain-mainkan gas sepeda motor, sehingga suaranya menderu memekakan telinga.

Kedua tangan Yayuk melingkar erat di pinggangku. “Aku pusing mas,” bisiknya. Lalu aku mempercapat laju sepeda motor menuju warung langganan. Yayuk minum obat kepala pusing dengan teh hangat. Aku menyulut rokok setelah minum kopi hitam hangat.


Malam minggu. Di alun-alun depan pendopo kabupaten, sudah banyak pasangan muda-mudi bercengkerama. Ada yang duduk-duduk di rerumputan, ada yang berjalan melihat indahnya bebungahan di taman. Para pedagang juga menjajakan dagangannya. Anak-anak kecil berlarian, kejar-kejaran. Ramai alun-alun malam itu. Aku dan Yayuk menikmati bakso dan es degan.

Malam itu, bulan masih enggan menampakkan wajahnya. Hanya mengintip dari balik awan.

Aku dan Yayuk naik di tangga lantai pendopo. Lalu duduk di pojok dengan bersandar di tiang pendopo. Yayuk “nyamil” makanan kudapan sembari kepalanya disandarkan di dadaku. Mataku mengarah ke pilar pendopo. Di blandar utama tertulis tahun berdirinya pendopo. Tertulis juga nama seorang penguasa jaman itu, serta gelar kebangsawanannya. Atas prakarsa penguasa itulah, pendopo ini berdiri. Bila ditilik dari gelar dan tahunnya, jelas bupati yang membangun pendopo ini masih ada keturunan dari Sutawijaya Panembahan Senapati Ing Alaga Sayidin Panatagama pendiri Kerajaan Mataram yang pusat kerajaan (kota raja) di Kota Gede, sebelah tenggara Yogyakarta.

Yayuk berdiri minta diantarkan ke toilet. Dan udarapun sudah terasa dingin.


Perputaran waktu berjalan terus. Sore itu di rumah Yayuk ada syukuran. Sangat ramai, karena sumua tetangga, semua teman, semua famili diundang untuk hadir. Muka Yayuk cerah. Matanya berbinar. Senyumnya terus tersungging. Yayuk memakai rok terusan berwarna biru muda dengan motiv bunga-bunga kecil berwarna kuning..Rambutnya yang panjang sepunggung diurai lepas. Kecantikan Yayuk tak kalah dengan kecantikan Dewi Ratih istri Dewa Kamajaya.

Makanan, minuman sudah dihidangkan. Aku duduk di teras muka berbincang bersama kedua adiknya. Yayuk mendatangiku, lantas tangannya menggandengku untuk masuk ke ruang tamu. Aku dikenalkan kepada semua sanak familinya.
“Ini mas Sangkan.” Semua bersalaman untuk berkenalan.

Lalu mengajakku untuk bareng sungkem dengan bapak ibunya. Kemudian doa syukur diulukkan oleh pakdenya Yayuk. Setelah itu, semua yang hadir mengucapkan selamat satu persatu. Mata Yayuk berkaca-kaca. Sebentar-sebentar di tutul dengan tisu, agar air mata yang sudah keluar tidak membasahi pipinya. Aku tak kuasa menahan rasa, hatiku semendal. Aku keluar halaman depan Dan kutengadahkan wajahku, mengucapkan syukur karena cita-cita Yayuk terkabul. Yayuk lulus tes pegawai negeri.

S e l e s a i

Poedianto, Guru SMK Pariwisata Satya Widya Surabaya.

Share this Article
Leave a comment

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *