Oleh: Lia Istifhama, Aktivis
Dari catatan Lia Istifhama, seorang aktivis perempuan yang sekaligus menjadi Advokad seorang nenek menjadi korban kejahatan lintah darat.
Hutang 46 juta, udah dibayar 10 juta, ditagih 100 juta, kalau tidak rumahnya seharga 400 juta lebih, mau disita. Berikut catatannya:
Usianya memang jauh dari kata muda, cara jalannya pun, tidak bisa menutupi rapuh tubuhnya. Sorot matanya sayu, suaranya lirih, tangannya terlihat gemetar, ini adalah potret nyata perubahan fisik yang dialami seseorang di usianya. Sebut saja mbah Tini. Janda usia 77 tahun, ketika berjalan harus dibantu orang lain.
Mungkin, tubuhnya memang rapuh. Tapi tidak dengan semangatnya.
Ia masih berupaya untuk tetap berjalan tanpa bantuan kursi roda, menuju ruang sidang dalam setiap panggilan sidangnya. Ia juga masih berupaya secara rutin merawat dan menyuapi kedua anaknya yang lumpuh total, yang satunya adalah korban tabrak lari, dan satunya lagi mengalami multiple sclerosis.
“Maaf, nak. Baru angkat telpon karena abis ndulang”, ujarnya suatu ketika.
Simple, kita pun berpikir bahwa sang mbah sedang menyuapi cucunya. Namun nafas panjang harus diambil tatkala pada pertemuan langsung di tengah menunggu sidang, mbah Tini berkata: “Nak, semoga sidangnya cepat ya, karena mbah tidak bisa lama-lama, anake mbah belum BAB (Buang Air Besar) karena BAB per tiga hari. Dan ini hari ketiga.”
Disitulah akhirnya terbuka secara lengkap kisah keseharian mbah Tini.
Sebagai perempuan, tentu muncul rasa prihatin yang tinggi. Namun melihat ketegarannya, rasa kagum tak kuasa untuk hadir. Kecintaan kepada sang anak, membuatnya berusaha kuat menghadapi persoalan hidupnya. Terlebih saat mendengar kisahnya mengobati sang anak saat menjadi korban tabrak lari.
“Anak saya ditabrak di dekat kantor TVRI, nak. Karena KTP Bojonegoro, maka katanya tidak bisa menggunakan BPJS. Jadi harus bayar semua. Tiga hari pertama untuk operasi, biayanya 150 juta. Total sampai rawat jalan banyak, nak. Mbah lupa berapa ratus juta. Yang pasti mbah jual apa saja yang bisa dijual, nak,” tutur Mbah Tini, meski penuh derita tapi semangat tak pernah kendur.
Rasanya, kita yang menyaksikan kisahnya pun ikut menghela nafas panjang. Membayangkan betapa uang tersebut jauh dari kata sedikit. Terlebih melihat postur fisik dan caranya berpakaian yang tidak menampakkan dirinya berasal dari kalangan menengah atas.
Lima tahun sudah, mbah Tini merawat anak-anaknya yang mengalami cacat permanen. Dan di tahun kelima, kisah pahit kembali hadir, yaitu dengan adanya surat relaas, panggilan sidang.
“Sang Mbah Digugat !!”
Salah satu putranya yang wafat beberapa bulan lalu, ternyata terikat perjanjian utang piutang sejumlah Rp. 49 juta rupiah. Sang anak telah membayar dengan total sekitar Rp. 10 juta rupiah. Namun karena dianggap pembayaran tidak rutin, mbah Tini sebagai ibunya, digugat untuk membayar tunggakan sejumlah sekitar Rp. 100 juta rupiah, sekaligus menyerahkan aset tempat tinggalnya yang dijadikan jaminan utang tersebut.
Secara sederhana, pinjaman tidak sampai 40 juta, telah dianggap setara dengan uang 100 juta dan tempat tinggalnya di Surabaya yang tentunya memiliki nilai jual diatas Rp. 400 juta rupiah. Haruskah disita ?
Miris, tentunya.
Namun ternyata kisah seperti mbah Tini seperti lumrah terjadi di tengah masyarakat. Bahwa tidak sedikit wong cilik yang harus berjuang melawan lintah darat. Mereka sedang terjepit kondisi ekonomi, namun merekalah yang kemudian tercekik.
Lantas, apakah mereka masih layak dipersalahkan? Apakah mereka layak terabaikan karena dianggap telah melakukan keteledoran akibat terjebak sindikat lintah darat?
Dan kini, mbah Tini telah memenuhi semua panggilan sidang dan menyampaikan keinginannya untuk menyicil utang anaknya dengan mekanisme yang wajar. Sang mbah tengah menanti keadilan, dan sangat salah jika kelompok lintah darat berpikir bahwa mbah Tini dengan segala situasi sosial ekonominya, akan mampu menjadi bagian mereka untuk mendapatkan pasif income.
Doa demi doa tentu dipanjatkan di tengah hari-harinya yang kian senja. Namun sang mbah tidak perlu lagi menangis karena mbah memiliki kekuatan hati yang tidak dapat dimiliki oleh kebanyakan orang lainnya.
Ada satu kalimat dari sang mbah yang tidak boleh kita lupakan: “Orang baik selalu dipertemukan orang baik yang datang untuk menolong.”
Kini sang mbah tengah menanti keadilan, dan sangat salah jika kelompok lintah darat berpikir bahwa mbah Tini dengan segala situasi sosial ekonominya, akan mampu menjadi bagian mereka untuk mendapatkan pasif income.
Ada satu kalimat dari sang mbah yang tidak boleh kita lupakan: “Orang baik selalu dipertemukan orang baik yang datang untuk menolong.”
Betul mbah, yang benar tetap benar, meski sejuta rekayasa dilakukan.