Oleh : Poedianto
Hari masih pagi. Udara dingin terasa menusuk kulit. Seorang pemuda berperawakan sedang membersihkan muka, tangan dan kaki. Dibasuhnya anggota badannya berkali-kali dari pancuran belik yang mengalir di kaki bukit. Lalu pemuda itu memasuki pelataran candi. Beberapa depa di sebelah kanan sudah ada dua orang yang berpakaian serba kuning duduk bersila. Dan tepat di depan candi pemuda itu melakukan mabasanggama, yaitu duduk bersila dengan kedua telapak tangannya menempel satu dengan yang lainnya. Mulutnya komat-kamit membaca mantra untuk Hyang Saraswati, dewi ilmu pengetahuan, agar ilmu yang didapat dari padepokan tempat pemuda itu menimba pendidikan bisa bermanfaat bagi keperluan orang banyak.
Lama pemuda itu melakukan hening di depan candi. Namun tanpa disadarinya beberapa pasang mata mengamati dari balik pagar candi. Kemudian pemuda itu berdiri, setelah menghatur sembah dan berjalan keluar dari pelataran candi.
Pemuda itu berjalan ke arah timur. Menelusuri jalan-jalan desa. Sesampainya di batas gapura desa, pemuda itu berjalan agak pelan. Pemuda itu mengikuti jalan induk desa. Lalu pemuda itu berhenti di depan rumah joglo dengan halaman yang luas. Sebelum masuk di regol rumah joglo itu, pemuda mengucapkan uluk salam. Disambut uluk salam juga dari seorang perjaka kecil sambil berlari menghampiri pemuda.
“Kisanak mencari siapa,” tanya perjaka kecil.
” Ki Buyut Randu Pitu. Apakah Ki Buyut ada di rumah,” suara pemuda pelan.
“Ya, Ki Buyut ada di beranda tengah. Tetapi kisanak siapa,” perjaka kecil bertanya lagi.
“Namaku Sumbul dari desa Kalangan, kota Dhaha,” jawab pemuda yang bernama Sumbul itu.
“Silakan masuk kisanak, akan aku sampaikan kepada Ki Buyut,” kata perjaka kecil dan berlari masuk ke ruang dalam rumah joglo.
Tidak lama kemudian Ki Buyut Randu Pitu keluar rumah dengan diiringi Nyi Buyut.
“Silakan, silakan masuk ke banjar desa,” Ki Buyut mempersilakan dengan ramah. Lalu pemuda dan Ki Buyut sudah duduk berhadapan di atas tikar pandan.
“Namaku Sumbul. Aku keponakan Ki Jadran, teman Ki Buyut ketika menjadi prajurit di Panjalu. Saat perang besar terjadi, Jenggala menyerang Panjalu. Keadaan ini membuat semuanya menjadi berantakan. Perang yang berkepanjangan menyusahkan semua pihak. Kota raja Panjalu dipindah dari Dhaha ke Kediri oleh Raja Jayawarsa. Tatkala itu Dhaha kosong dan gedung pusaka kerajaan dirusak musuh. Banyak prajurit yang meninggal, bahkan Raja Jayawarsa juga tidak bisa menyelamatkan diri. Dalam keadaan seperti itu, Ki Jadran masih bisa menyelamatkan salah satu pusaka istana, yaitu Tombak Trisula,” Sumbul berhenti sejenak. Ki Buyut dahinya berkerut mendengar perkataan Sumbul. Lalu Sumbul melanjutkan perkataannya, “Tetapi kala itu Ki Jadran nyawanya terancam karena dikepung musuh. Dengan menggunakan Tombak Trisula, Ki Jadran bisa meloloskan diri walau tubuhnya penuh dengan luka. Ketika itu Ki Buyut membantu Ki Jadran untuk menjauh dari peperangan. Dan atas pertimbangan Ki Jadran, pusaka Tombak Trisula diserahkan kepada Ki Buyut untuk diselamatkan. Lalu Ki Jadran dengan susah payah kembali ke-rumahnya dengan keadaan tubuh yang lemah. Selama beberapa hari di rumah, Ki Jadran mendapat perawatan dari keluarga. Tetapi karena tubuhnya yang penuh luka, kesehatannya setiap hari semakin menurun, dan akhirnya Ki Jadran menutup mata untuk selamanya. Sehari sebelum kematiannya, Ki Jadran menceritakan semuanya kepadaku. Lantas aku diperintahkan menemui Ki Buyut untuk bersama-sama mengembalikan pusaka Tombak Trisula kepada putri Raja Jayawarsa yaitu Dewi Candrakirana di Kediri.”
“Sumbul, pusaka Tombak Trisula aku simpan baik-baik. Aku juga tidak pernah cerita kepada siapapun tentang pusaka itu. Tetapi dalam keadaan seperti sekarang ini tidak mungkin kita kembalikan. Kediri masih belum aman betul. Banyak pihak yang menginginkan pusaka itu. Aku kawatir jatuh di tangan orang yang salah,” kata Ki Buyut pelan.
Dalam pada itu, dua pamong desa Randu Pitu naik ke banjar. Keduanya melaporkan peningkatan penjagaan keamanan desa. Sebab banyak warga desa yang melihat beberapa orang asing mondar-mandir di tapal batas desa. Kadang ada di sekitar candi, kadang menelusuri bulak, kadang pula duduk-duduk dan berbincang sesama mereka di pinggir hutan kecil.
“Awasi saja mereka. Jangan bertindak apapun. Mereka orang-orang yang sangat berbahaya,” pinta Ki Buyut kepada kedua pamong itu.
Mereka berbincang semakin dalam. Hidangan juga sudah ditambah lagi oleh pelayan rumah. Matahari sudah sepenggalah.
^ ^ ^
Tengah malam, di lereng gunung Arjuna, ruang tengah Padepokan Ambek Pangarsa ada tiga orang sedang membicarakan sesuatu dengan sungguh-sungguh. Raja Airlangga di Mataram yang menjauh dari pusat pemerintahan dan kini menjadi Resi Jantayu Jatinendra duduk bersila dengan tangan bersedakap. Dihadapannya seorang biksuni dari gunung Kawi yang bernama Sang Guru Giri Putri. Wanita setengah baya yang rambutnya disanggul ke atas itu dengan seksama siap menunggu perintah dari sang resi. Giri Putri kepalanya menunduk dan wajahnya tampak suram. Itu pertanda hatinya sedih merasakan keadaan Panjalu dan Jenggala. Sesungguhnya wanita setengah baya itu adalah putri Raja Airlangga yang bernama Sanggrama Wijaya Tunggadewi dan juga menyingkir dari percaturan pemerintahan, lalu menjalani sebagai biksuni, guru spiritual. Dan di sebelahnya lagi duduk seorang wanita muda yang cantik rupa bernama Dhandang Sumyang. Wanita muda itu membiarkan rambutnya terurai dan memakai ikat kepala berwarna lurik.
“Giri Putri,” suara sang resi pelan.
“Ya, ayahanda,” suara Giri Putri pelan juga.
“Kau masih ingat betul ketika kau menolak menggantikan aku duduk di singgasana Mataram. Lalu aku terpaksa memerintahkan Mpu Barada untuk membagi negara Mataram menjadi dua. Yaitu Jenggala dan Panjalu. Kedua kerajaan itu aku serahkan kepada kedua adikmu. Jayantaka menjadi raja di Jenggala dan Jayawarsa menjadi raja di Panjalu. Maksudku agar keturunan Mataram menjadi akur. Tetapi yang terjadi malahan sebaliknya. Jenggala menyerang Panjalu. Lalu Panjalu membalas. Serang menyerang yang tak habis-habisnya inilah yang terjadi,” keluh sang resi dengan hati sedih.
“Ini yang aku pikirkan dari hari ke hari ayahnda,”
Kemudian sang resi berkata lagi, “Cuma ada satu jalan untuk perdamaian, yaitu perkawinan Inu Kretapati putra Jayantaka raja Jenggala di Kahuripan dengan Candrakirana putri Jayawarsa raja Panjalu di Dhaha.”
“Itu benar ayahanda. Tetapi tidak kalah pentingnya pusaka leluhur kita yaitu Tombak Trisula yang hilang dari gedung pusaka harus ditemukan kembali. Pusaka Tombak Trisula inilah yang akan menyatukan Jenggala dan Panjalu,” papar biksuni yang rambutnya disanggul itu. Semua yang ada dalam ruangan itu berpikir setelah mendengar keterangan biksuni. Kemudian dengan nada tinggi sang resi berkata, “Dandang Sumyang, kau kuperintahkan mencari keberadaan pusaka Tombak Trisula.”
“Hamba guru,” jawab Dandang Sumyang sigap.
Hilangnya pusaka Tombak Trisula sudah banyak didengar oleh beberapa pihak. Ada usaha menemukan pusaka tersebut hanya untuk dijual ke para saudagar kaya. Tentu saja dengan harga yang sangat tinggi. Tetapi ada juga yang untuk menghentikan peperangan. Berbagai niat itulah yang kemudian desa Randu Pitu dan sekitarnya banyak disinggahi orang-orang asing.
Di sudut dukuh Dadapan, sebelah barat desa Randu Pitu, ada sebuah gubuk yang ditempati dua orang. Yang satu seorang perempuan janda dan rambutnya sudah berwarna putih dan yang satunya lagi seorang gadis remaja berparas cantik. Gadis tersebut adalah Dewi Candrakirana bangsawan dari Dhaha. Kedatangannya juga mencari pusaka Tombak Trisula. Dua perempuan yang ada dalam gubuk itu sering kali berpindah-pindah tempat. Setiap pindah tempat, gadis itu mengganti namanya. Ini semua dilakukan untuk mengelabui orang, agar sulit mengenalinya. Nama-nama samaran itu antara lain Sekartaji, Kleting Kuning, Keong Emas, dan kini memakai nama Kelana Jayengsari.
Di tempat lain, di rumah yang besar, Raden Inu Kretapati, bangsawan Jenggala, menyamar sebagai pedagang pusaka bertuah. Dan mengganti namanya dengan sebutan Raden Panji Asmara Bangun. Kedatangannya di desa ini, bertujuan menelisik keberadaan Tombak Trisula. Karena menyamar sebagai pedagang pusaka, rumah besar itu tidak pernah sepi tamu. Yaitu tamu yang menawarkan pusaka atau tamu yang mencari pusaka untuk dibeli.
Akhir-akhir ini di desa Randu Pitu banyak didatangi orang-orang asing. Yang kesemuanya bermaksud mencari pusaka Tombak Trisula.
Bahkan gerombolan-gerombolan orang-orang kasar dari pesisir utara sampai selatan, juga ingin memiliki pusaka itu.
Sejak sore hujan mengguyur desa Randu Pitu. Semakin malam semakin deras. Tetapi semua pamong desa dan para pemuda sudah menyiapkan diri untuk melindungi desanya.
Kilat dan geluduk bergantian memercikkan cahaya di langit.
Dua orang berpakaian serba kuning mengendap-endap di luar pagar batu rumah Ki Buyut Randu Pitu. Mata Sumbul menangkap seseorang meloncat ke atas genting rumah Ki Buyut. Di dalam rumah Ki Buyut ada dua orang pamong desa yang sudah siap menghadapi semua kemungkinan yang akan terjadi. Ki Buyut sudah menghunus pedangnya. Kedua pamong itupun juga sudah memegang senjatanya erat-erat. Tak menunggu lama Sumbul meloncat ke atas genting. Orang berpakaian serba kuning yang merangkak di atas rumah Ki Buyut kaget bukan kepalang melihat ada orang berdiri dengan kaki renggang di depannya. Lalu orang itu cepat-cepat berdiri menghadap Sumbul.
“Bukankah kau yang beberapa hari lalu berada di candi. Apa maumu dengan mengendap-ngendap di atas rumah Ki Buyut. Apa kau ingin mencuri pusaka Tombak Trisula,” Sumbul bertanya dengan nada tinggi kepada orang yang berpakaian kuning.
“Setan alas,” umpat orang berpakaian kuning, lalu menyerang Sumbul dengan kakinya. Sumbul meloncat menghindar. Mengetahui serangannya tidak menyentuh tubuh Sumbul, orang berpakaian kuning mencabut belati dari balik bajunya. Sumbul tak kalah waspadanya, lalu Sumbul menghunus kerisnya. Perkelahian di atas rumah Ki Buyut semakin seru. Serang menyerang dengan senjatanya masing-masing.
Orang berpakaian kuning yang satunya berada di luar pagar. Orang itu siap-siap meloncat ke atas rumah Ki Buyut untuk membantu temannya yang terdesak menghadapi Sumbul. Niat itu diurungkan karena ada batu yang melayang dan mengenai punggungnya. Orang berpakaian kuning itu segera meloncat ke samping dengan cekatan sembari membalikkan tubuh kebelakang.
“Mau kemana kau kisanak. Membantu temanmu yang di atas rumah,” tegur seorang wanita yang rambutnya terurai dan memakai ikat kepala dengan bertolak pinggang.
“Siapa kau. Jangan ikut campur,” bentak orang berpakaian kuning.
“Aku juga menginginkan pusaka Tombak Trisula,” sela wanita yang rambutnya terurai dengan tertawa panjang.
“Keparat,” suara kasar orang berpakaian kuning dengan mecabut belatinya. Lalu meloncat cepat menyerang dengan belatinya. Perkelahian tak bisa dihindarkan di luar pagar rumah. Hujan bertambah deras disertai angin kencang. Ki Buyut dan dua pamong ke luar halaman dan menyaksikan dua tempat perkelahian. Yang satu berada di atas rumah, satunya lagi di luar pagar. Ki Buyut dan kedua pamong mengetahui bahwa Sumbul tengah meladeni lawannya di atas rumah.Tetapi Ki Buyut dan dua pamong tidak mengenal siapa yang berkelahi di luar pagar.
Hujan semakin deras malam itu, kedua perkelahian belum selesai juga. Namun, tak lama kemudian orang berpakaian kuning yang di atas rumah berdesah kesakitan, lalu jatuh ke tanah dengan memegangi dadanya yang robek terkena ujung keris Sumbul. Orang berpakaian kuning itu mencoba untuk duduk, tetapi kemudian jatuh terlentang dan kemudian menghembuskan nafas terakhir. Berbarengan dengan itu, Sumbul meloncat turun ke bawah.
“Maaf Ki Buyut, ini tidak bisa dihindari,” suara Sumbul pelan. Saat itu juga Ki Buyut, Sumbul dan dua pamong desa berlarian mendekati perkelahian yang di luar pagar.
Orang berpakaian kuning terdesak dan tak lama kemudian jatuh tertelungkup karena terkena tendangan yang sangat keras dari kaki wanita yang rambutnya terurai. Orang berpakaian kuning tertatih-tatih mencoba untuk bangun, namun jatuh lagi, pingsan.
Sebelum Ki Buyut bertanya, wanita yang rambutnya terurai itu berkata, “Ki Buyut, orang yang pingsan ini bersama temannya yang mati itu ingin mengambil pusaka Tombak Trisula dari rumah Ki Buyut,” terang wanita yang rambutnya terurai. Ki Buyut menganggukkan kepala. Lalu katanya lagi, “Ketahuilah, ketika Ki Buyut menerima pusaka Tombak Trisula saat peperangan dahulu, ternyata banyak prajurit yang menyaksikan. Oleh karena Itulah sekarang banyak pihak yang datang ke desa Randu Pitu. Oya Ki Buyut, dua orang yang berpakaian kuning itu, keduanya dari perguruan Gamping Kuning. Dan ikat orang yang pingsan itu. Setelah siuman, tanyai sampai Ki Buyut mendapat keterangan yang banyak,” kata wanita yang rambutnya terurai sambil meloncat menjauh dan hilang di kegelapan malam. Ki Buyut, Sumbul dan dua pamong desa hanya termangu-mangu.
Malam itu juga jasad yang mati dikubur, yang pingsan diikat dan dimasukkan ke dalam banjar. Semua pamong dan para pemuda berdatangan ke pendopo desa. Ki Buyut menceritakan semuanya kejadian malam ini.
Pagi hari, Ki Buyut kedatangan dua prajurit dari Kediri. Seorang prajurit yang usianya lebih tua dari yang satunya menjelaskan kepada Ki Buyut tentang ketegangan yang terjadi antara Jenggala dan Panjalu. Menghilangnya dua putra mahkota dari kedua negara tersebut yang hampir bersamaan waktunya. Raden Inu Kretapati dan Roro Candrakirana menghilang dari kota raja. Dengan demikian, pelaksanaan perkawinan keduanya gagal. Padahal perjodohan kedua bangsawan tersebut diharapkan bisa mendamaikan Jenggala dengan Panjalu.
Ini semua diawali dari putri Patih Kudana Warsa di Jenggala yaitu Dewi Anggraini meninggal mendadak di kamarnya. Geger Jenggala saat itu. Kecurigaanpun meluas. Ada yang berpikir dibunuh suruhan Panjalu, ada pula yang berpikir dibunuh suruhan Jenggala. Kedua pemikiran tersebut sulit dibuktikan. Namun yang jelas, sesungguhnya Raden Inu Kretapati menaruh hati dengan Roro Dewi Anggraini bukan kepada Raden Ayu Dewi Candrakirana. Atas peristiwa itu, dengan rasa malu, Candrakirana diam-diam meninggalkan kota raja Dhaha, Panjalu. Dalam pelariannya, Candrakirana menyamar sebagai pengembara dan menyebut dirinya dengan nama Kelana Jayengsari.
Mendengar kabar bahwa Candrakirana meninggalkan Dhaha, kemudian Inu Kretapati juga meminggalkan kota raja Kahuripan, Jenggala untuk mencari keberadaan Candrakirana. Keadaan seperti inilah menambah semakin panasnya hubungan Panjalu dan Jenggala.
Ki Buyut hanya mengangguk-angguk mendengar paparan prajurit Kediri. Dan prajurit Kediri itu berpesan kepada Ki Buyut, “Ki Buyut harus menambah kewaspadaan di Randu Pitu. Perketat penjagaan jangan sampai kendor. Keadaan seperti ini akan dimanfaatkan oleh perusuh-perusuh untuk keperluannya sendiri.”
Setelah segala sesuatunya selesai, kedua prajurit Kediri itu mohon pamit dengan membawa seorang tawanan dari Peguruan Gamping Kuning. Kedua prajurit juga berkunjung ke desa-desa lainnya untuk bertemu para buyut dan menjelaskan keadaan yang sedang terjadi.
Malam itu suara burung malam berkoak-koak. Dan tiba-tiba disusul suara kentong titir bersahut-sahutan. Suara kentong titir itu tanda bahaya. Warna merah semburat di angkasa. Dan ternyata tiga rumah yang terletak di sudut desa terbakar. Jerit teriakan-teriakan warga minta tolong susul menyusul. Belasan perusuh membakar beberapa rumah warga. Para pemuda desa berusaha menghalau perusuh, tetapi tidak berdaya menghadapi perusuh-perusuh yang kasar. Tetapi para pemuda dan warga desa melawan sebisa-bisanya.
Ki Buyut mendengar laporan warga segera bersiap untuk pergi ke peristiwa kebakaran. Namun Sumbul cepat-cepat mencegahnya, “Ki Buyut jangan beranjak dari rumah ini.”
“Apa maksudmu Sumbul,” teriak Ki Buyut.
“Ini adalah pancingan agar semua pamong dan pemuda meninggalkan banjar desa dan pergi ke tempat kebakaran. Dengan demikian rumah ini tanpa penjaga, maka perusuh itu debgan mudah masuk ke rumah Ki Buyut. Di dalam rumah Ki Buyut ada pusaka Tombak Trisula,” jelas Sumbul.
“Jadi harus bagaimana,” tanya Ki Buyut dengan gusar.
“Ki Buyut dan beberapa pamong dibantu beberapa pemuda tetap menjaga rumah ini. Aku dan beberapa pemuda yang akan ke tempat kebakaran,” kata Sumbul. Lalu Sumbul bergegas berangkat ke tempat kebakaran dengan diikuti beberapa pemuda.
Sesampainya di tempat kebakaran, Sumbul melihat wanita yang rambutnya diurai melawan lima orang purusuh sekaligus.
Gerakannya lincah. Meloncat kesana-kemari sembari tertawa-tawa. Dan tangan kanannya memainkan tombak kecil. Para perusuh kewalahan melawan wanita yang rambutnya diurai. Beberapa perusuh mundur beberapa langkah dengan mengumpat kasar karena dadanya robek terkena ujung mata tombak yang dipegang wanita rambut terurai.
Sumbul juga sudah menghadang enam orang perusuh yang akan membakar rumah warga lagi. Sumbul diserang dari kanan dan dari kiri. Sumbul mengamuk dan menerjang lawan-lawan yang berada dihadapannya. Tak begitu lama dua orang perusuh terbanting ke tanah dengan kerasnya karena kena pukulan Sumbul.
Dalam pada itu juga tiga orang perusuh terpelanting kena pukulan tongkat tombak wanita rambut terurai.
Warga dan para pemuda melihat kejadian itu bertambah gairah keberaniannya untuk melawan para perusuh.
Sumbul ingin cepat-cepat melumpuhkan lawan-lawannya karena akan segera membantu Ki Buyut.
Di rumah Ki Buyut benar-benar genting. Banjar desa dikepung puluhan orang perusuh. Ki Buyut melawan tiga perusuh sekalugus. Tiga perusuh menyerang Ki Buyut dengan garangnya. Tetapi Ki Buyut pernah menjadi prajurit pilihan di Panjalu. Maka para perusuh tidak mudah menjatuhkan Ki Buyut. Dengan memegang pedang tipis, Ki Buyut bertempur dengan gigihnya. Pedang Ki Buyut berputar menggulung-gulung seolah mengepung tiga perusuh itu.
Perkelahian di halaman depan banjar desa Randu Pitu tidak seimbang. Puluhan perusuh mendesak para pamong dan pemuda desa. Tetapi tiba-tiba empat perusuh menyeringai kesakitan. Ada yang memegangi perut, lengan dan dada karena sabetan cundrik, keris kecil, yang digenggam seorang wanita dengan wajah tertutup.
Para perusuh kaget, karena tidak mengetahui akan kedatangan wanita dengan wajah tertutup kain hitam dan dengan cekatan menyerang para perusuh. Lalu para perusuh mengepung wanita yang wajahnya tetutup. Para perusuh menyerang bersama-sama ke wanita yang wajahnya tetutup. Namun sekali lagi terjadi sesuatu yang mengejutkan. Lima orang perusuh terpental dan berjatuhan. Beberapa diantaranya tewas seketika.
Di samping rumah Ki Buyut ada seseorang yang sedang mengamati keadaan. Gerahamnya gemeretak melihat para perusuh bergelimpangan satu demi satu. Kemudian orang itu berbenah untuk masuk ke area perkelahian. Tetapi sebelum beranjak dari tampatnya, terdengar suara menyapanya, “Ki Gamping Kuning, kau akan kemana. Duduk saja disini menyaksikan murid-muridmu berkelahi. Rupa-rupanya murid-muridmu banyak yang berjatuhan,” kata seseorang yang berdiri tepat di belakang Ki Gamping Kuning.
“Siapa kau,” teriak Ki Gamping Kuning sambil meloncat membalikkan tubuh.
“Aku Panji Asmara Bangun.”
“Mengapa kau ikut campur urusanku,” teriak Ki Gamping Kuning sembari mengurai rantai yang dililitkan di pinggangnya.
“Aku juga ingin memiliki pusaka Tombak Trisula,” jawab Panji Asmara Bangun lebih keras lagi.
“Sambar geledhek,” umpat Ki Gamping Kuning dengan memukulkan rantai ke tubuh Panji Asmara Bangun. Namun pukulan itu hanya mengenai angin. Kemudian rantai itu diputar sehingga suaranya menyerupai angin lesus.
Panji Asmara Bangun juga harus hati-hati melawan Ki Gamping Kuning. Keduanya mengeluarkan jurus-jurus tinggi, karena keduanya ingin cepat-cepat melumpuhkan lawannya. Panji Asmara Bangun mencabut kerisnya dari balik baju. Gerakan keris itu seperti mengurung Ki Gamping Kuning. Namun ujung keris itu sesekali mematuk tubuh Ki Gamping Kuning. Tetapi Ki Gamping Kuning telah menelan butiran ramuan anti racun sebelum bertempur. Butiran ramuan anti racun itu bisa membentengi tubuh dari racun yang ada dalam keris. Pukulan rantai berkali-kali tidak mengenai sasaran. Keduanya berkelahi dengan cepat. Keduanya saling mendesak.
Perkelahian di tempat rumah terbakar semakin kendor, para perusuh tidak berdaya menghadapi Sumbul dan wanita rambut terurai. Para perusuh semakin lemah karena tenaganya terkuras habis.
“Sumbul, tinggalkan tempat ini dan cepat bantu Ki Buyut. Biar kutangani perusuh-perusuh ini,” pinta wanita rambut terurai. Sumbul mengamati keadaan sejenak, lalu meloncat keluar area perkelahian sambil berkata, “Terimakasih,” dan langsung berlari ke banjar desa.
Setibanya di banjar desa, betapa kagetnya Sumbul menyaksikan para pamong desa dan para pemuda mengikat satu persatu perusuh. Semua perusuh yang diikat tak sadarkan diri karena terbentur benda tumpul di kepala, tengkuk, dada atau anggota badan lainnya. Yang tewas dikumpulkan tersendiri. Pamong desa dan pemuda yang terluka segera diobati. Ki Buyut juga mengobati lengannya yang tergores senjata lawan.
Sumbul segera membantu mengobati teman-temannya yang terluka. Lalu Sumbul masuk ke dalam banjar dan melihat Ki Buyut berbincang dengan seorang wanita dengan sungguh-sungguh. Wanita itu sudah membuka penutup wajahnya. Ki Buyut melihat Sumbul, kemudian mengajak Sumbul untuk duduk disampingnya.
“Ki Buyut, karena keadaan sudah terkendali, maka aku mohon pamit dulu karena biyungku akan cemas bila aku tidak segera pulang,” suara wanita yang membantu melumpuhkan para perusuh.
“Tetapi siapa nama kisanak dan dimana rumah kisanak,” tanya Ki Buyut dengan sareh.
“Namaku Kelana Jayengsari. Aku tinggal dengan biyungku di dukuh Dadapan,” jawab wanita itu. Lalu berdiri, berjalan keluar halaman dan dengan cepat pula melewati gelapnya malam.
Saat itu juga Ki Buyut memerintahkan para pemuda untuk menyisir sekitar banjar desa, sekitar halaman depan, samping serta belakang. Kemudian betapa terkejutnya ketika melihat seorang yang sudah meninggal dan diikat dengan rantai di pohon jambu belakang rumah. Jasad orang itu diangkat oleh dua pemuda dibawa ke depan banjar. Dari keterangan perusuh yang sudah siuman, jasad orang itu adalah Ki Gamping Kuning.
Malam itu juga Ki Buyut menggerakkan pemuda-pemuda untuk mengubur para perusuh yang meninggal. Setelah segala sesuatunya selesai, pamong desa dan para pemuda membersihkan diri di pakiwan belakang.
Nyi Buyut juga memanggil perempuan-perempuan desa untuk memasak di dapur. Lima belas ekor ayam dipotong. Beberapa buah tewel, kluwe, kelapa, kacang lanjar dan bumbu-bumbu dikupas, diracik lalu dimasak. Malam itu mengolah sayur lodeh. Nasi punel, ayam goreng, sambal pedas sudah siap saji. Udara tambah dingin, mereka makan dengan lahapnya.
Esok hari dua puluh prajurit berkuda dari Kediri tiba di banjar desa. Ki Buyut berbincang dengan pimpinan prajurit tentang kejadian semalam. Setelah menikmati hidangan wedang serai, pisang rebus, jagung rebus, kacang rebus, para prajurit pamit untuk kembali ke kota raja Kedir dengan membawa puluhan tawanan.
Iring-iringan prajurit berkuda dengan membawa tawanan menjadi perhatian semua warga desa. Iring-iringan itu menuju kota raja Kediri.
Selang beberapa hari setelah kerusuhan di desa Randu Pitu, di dukuh Dadapan, Panji Asmara Bangun tertegun ketika melihat gadis cantik bersama dua temannya pulang dari mencuci pakaian di sungai. Langkah gadis cantik itu diikuti dengan diam-diam hingga sampai di rumah gubuk yang terletak di sudut jalan desa.
Tanpa ragu-ragu Panji Asmara Bangun membuka pintu pagar rumah. Suara kriyet pintu pagar menarik perhatian gadis cantik. Lalu gadis cantik berjalan cepat-cepat ke halaman depan rumah. Betapa kagetnya gadis cantik melihat siapa yang datang.
“Diajeng Candrakirana, sudah berbulan-bulan aku mencarimu. Tetapi tidak disangka bertemu disini.”
Mendengar ada suara lelaki di depan rumah, ibu gadis ayu bertanya dari dalam rumah, “Siapa orang itu Kleting. Apa temanmu.”
“Bukan mbok, bukan temanku, tetapi kakang mas Inu Kretapati,” jawab gadis ayu sembari bersimpuh menghatur sembah. Saat itu juga ibu gadis ayu tergopoh-gopoh keluar rumah dan bersimpuh sembari menghatur sembah. Kemudian gadis ayu yang bernama Candrakirana mengajak Inu Kretapati masuk ke dalam rumah. Keduanya berbincang tidak terlalu lama. Lantas gadis ayu berganti pakaian. Perempuan setengah baya yang dipanggil mbok juga berganti pakaian. Saat itu juga ketiganya bertandang ke rumah Ki Buyut Randu Pitu. Sebab dukuh Dadapan masih wilayah desa Randu Pitu.
Betapa kagetnya Ki Buyut melihat Inu Kretapati dan Candrakirana memasuki banjar desa. Dengan cepat-cepat Ki Buyut menghatur sembah. Kemudian ketiganya dipersilakan masuk ke beranda dalam.
Inu Kretapati menjelaskan semuanya kepada Ki Buyut. Sebaliknya Ki Buyut juga berkata sejujurnya bahwa pusaka Tombak Trisula disimpannya baik-baik. Dalam waktu itu juga Ki Buyut memanggil semua pamong desa dan para pemuda ke banjar desa. Mereka berembuk untuk memperingati bertemunya dua putra mahkota dari Jenggala dan Panjalu. Dan lebih dari itu diperingati juga tentang kembalinya pusaka istana ke tangan yang berhak.
Dengan sungguh-sungguh warga desa mempersiapkan peringatan tersebut. Walau dengan waktu yang sempit, akhirnya panggung pertunjukan bisa didirikan dan tiga ekor sapi jantan disembelih untuk lauk pauk. Rawon, gulai, sate, empal dan serundeng.
Semua warga diundang. Panitia sibuk. Sumbul selalu diajak berpikir oleh Ki Buyut. Malam itu semua warga bergembira. Semua tontonan digelar.
Di tengah suka ria warga, Dhandang Sumyang dengan rambut teturai dan memakai ikat kepala berwarna lurik tersenyum bangga. Setidaknya ikut serta andil dalam menegakkan kebenaran.
“Bersatunya Inu Kretapati dan Candrakirana akan membuat kerukunan Jenggala dan Panjalu. Itu yang menjadi pikiran guru Jantayu Jatinendra,” kata suara hati Dhandang Sumyang.
Gamelan ditabuh, para gadis menari di panggung. Raden Inu Kretapati duduk berdampingan dengan Raden Ayu Dewi Candrakirana dan Ki Buyut Randu Pitu duduk sebelah kanan Inu Kretapati. Nyi Buyut duduk sebelah kiri Candrakirana. Para pamong beserta istri duduk berjajar dibelakang dua bangsawan itu. Sumbul dan para pemuda sibuk mengatur segala sesuatunya.
Malam itu udara dingin dan sinar rembulan tidak begitu terang karena tertutup mendung.
S e l e s a i
Poedianto adalah Guru SMK Pariwisata Satya Widya Surabaya.