Cerpen
Oleh : Poedianto
Semalam hujan dengan derasnya. Pak Sumo mengatur air sawahnya, agar tidak kebanjiran. Banjir bisa menghanyutkan benih-benih tumbuhan padi yang baru saja ditanam. Pak Sumo sibuk membuka aliran air pada pematang sawah, air yang memenuhi petak-petak sawahnya dialirkan lewat selokan dan menuju sungai kecil dipinggir sawah.
Sementara Pak Sumo masih mengatur air di sawah. Hujan tak semakin reda. Sesekali kilat mengeluarkan sinarnya, seolah membelah langit.
Setelah membenahi segala sesuatunya pada sawahnya, Pak Sumo bergegas menjauhi hamparan sawah, sebab hujan bertambah deras, dan bunyi geludug juga berkali-kali menggelegar. Pak Sumo dengan memanggul cangkul cepat-cepat bergegas pulang. Sebab beberapa tahun lalu, di desa sebelah, ada seorang petani yang disambar petir tatkala hujan di tengah sawah. Pak Sumo ingat itu, lalu Pak Sumo dengan cepat-cepat menelusuri pematang sawah dan sesekali meloncati gundukan-gundukan bongkahan tanah, dan berhenti sebentar melihat sekeliling hamparan sawah yang sudah dipenuhi air hujan. Kemudian Pak Sumo melangkahkan lagi kakinya dengan cepat-cepat, berbelok kearah jalan desa. Sebelah jalan desa ada sungai yang agak besar, airnya mengalir dengan deras. Sementara brujung-brujung tanggul sungai sudah ada yang rusak. Pak Sumo melihat itu, lantas gumamnya, “Kalau brujung-brujung itu ambrol, tanggul sungai akan jebol. Dan tenggelamlah desa sekitar sini. Semoga perangkat desa sudah mengetahui ini dan semoga pula sudah dilaporkan ke ndoro bupati di kabupaten.” Pak Sumo menggelengkan kepalanya, dan terus menelusuri jalan desa. Pak Sumo mampir sebentar ke tegalan miliknya untuk memetik beberapa buah jagung.
Sesampainya di rumah, Pak Sumo langsung membersihkan diri di pakiwan belakang. Istri Pak Sumo mengelupas kulit jagung, lantas merebus jagung dalam dandang besar di atas tungku yang terbuat dari tanah liat. Istri Pak Sumo duduk di dingklik kecil dekat tungku. Sesekali tangannya memasukkan kayu bakar dalam tungku. Api membakar kayu dalam tungku, dan menghangatkan tubuh istri Pak Sumo.
Setelah membersihkan diri, Pak Sumo sudah duduk bersila di atas amben dengan memakai sarung kotak-kotak dan berkaos oblong berwarna putih. Istri serta kedua anaknya juga duduk di atas amben. Di luar hujan masih belum berhenti, keluarga kecil itu menikmati jagung rebus yang masih hangat.
Semua siaran tv menurunkan “Breaking News” tentang banjir. Banjir di beberapa kota. Bermacam komentar muncul. Ada yang berpendapat drainase yang kurang memadai, ada yang berpendapat hujan yang ekstrem, ada yang berpendapat hujan kiriman dari kota-kota lain. Bahkan ada yang berpendapat, kepala daerah yang gak becus ngurusi banjir. Namun, kesemuanya itu masyarakatlah yang kena dampak langsung dari banjir. Rumah kebanjiran, jalan tertutup air, perabot rumah tangga rusak, mobil dan motor mogok, toko-toko tutup, ekonomi lumpuh dan penduduk mengungsi di berbagai tempat pengungsian. Belum lagi penyakit yang timbul akibat banjir. Obat-obatan, pakaian, selimut dan kebutuhan pangan dibantu dari pemerintah dan dermawan swasta.
Banjir belum selesai penanganannya, disusul wabah corona dan problematik penimbunan masker, erupsi gunung Merapi yang abunya menyebar hingga kota Solo dan berbagai bencana lainnya. Semuanya silih berganti menimpa masyarakat. Masyarakat yang sudah berat dengan beban ekonomi.
“Kita masih bersyukur bune, desa kita luput dari banjir,” kata Pak Sumo suatu sore.
“Benar pakne, kita bersyukur,” suara Bu Sumo pelan.
S e l e s a i
Poedianto, Guru SMK Pariwisata Satya Widya Surabaya.