Oleh : Poedianto
Sepeda motor tua memasuki pekarangan, dan belok ke kiri. Berhenti di depan pintu pagar yang terbuat dari bambu. Dibukalah pintu pagar itu, dan sepeda motor dituntun masuk ke halaman rumah yang sudah tua. ‘Assalamualaikum,” salam pemuda semampai itu setelah mengunci sepeda motornya. Tak terdengar jawaban, diulangi lagi uluk salam. Lantas terdengar suara salam pula di depan pagar bambu. Pemuda menoleh kebelakang, tampak seorang gadis berbadan kurus, berkulit sawo matang dengan rambut diikat kebelakang masuk halaman rumah. Tangannya meninting tas kresek hitam yang berisi beberapa bungkus makanan. “Silakan masuk mas, aku baru belanja di toko sebelah,” suara pelan gadis itu.
Rumah itu berukuran sangat kecil. Hanya ruang tamu dan dapur. Kamar mandi terletak di halaman belakang rumah. Di ruang tamu ada tiga kursi penjalin dan meja bundar berkaki tiga. Pemuda itu duduk setelah melepas jaket. Gadis berkulit sawo matang juga duduk. Dan menanyakan kabar masing-masing. Pemuda itu mengeluarkan beberapa bungkusan dari tasnya, kemudian diberikan kepada gadis berkulit sawo matang. “Darsih, ini untukmu, tetapi tidak banyak,” kata pemuda dengan meletakkan beberapa bungkus oleh-oleh di atas meja. Gadis yang bernama Darsih berdesis, “terima kasih mas Adib.”
Di luar rumah terdengar kicau burung prenjak bersahutan dari pohon mangga. Angin berhembus pelan masuk ke ruang tamu. Keduanya berbincang-bincang dan sesekali suara tawa memenuhi beranda depan. Hari belum siang benar, Darsih ke ruang dapur. Memasak air, menanak nasi, menggoreng tahu dan tempe, membikin sambal tomat. Adib memandang sekeliling ruangan tamu. Perabot yang ada di ruang tamu umurnya sudah tua semua. Meja, kursi, almari, bahkan tv yang duduk di atas buffet juga sudah merk lama. Di dinding menggantung beberapa foto dalam bingkai pigora dari kayu. Foto Darsih kala wisuda bersama bapak ibunya dan foto-foto keluarga lainnya. Di sudut ruang tamu ada amben yang beralas tikar dan dua bantal yang sarung bantalnya warnanya sudah memudar. Kedua orang tua Darsih sudah tiada. Darsih anak tunggal. Darsih hidup sendiri di rumah itu. Honor mengajar di cukup-cukupkan untuk kebutuhan sebulan. “Ah, Darsih memang gadis yang tabah,” kata Adib dalam hati.
Adib teringat perkenalannya bersama Darsih. Dua tahun yang lalu saat ada lomba mewarnai gambar untuk tingkat TK di pendopo kabupaten.
Darsih mengajar TK di desanya. Adib bekerja sebagai keryawan honorer di kabupaten. Keduanya bertemu, berkenalan di pendopo kabupaten. Kala itu Darsih mengantar anak didiknya untuk ikut lomba.
Suara Darsih memanggil, menggugah angan-angan Adib. “Mas Adib, ayo sekarang waktunya makan siang. Nasi hangat, sayur asam, tahu tempe goreng dan sambal tomat,” tawar Darsih.
Keduanya makan di meja dapur. Adib menikmati masakan Darsih. Sementara Darsih sangat senang melihat Adib makan dengan lahapnya. Adib melirik Darsih yang tersenyum, tampak lesung pipitnya. “Darsih memang cantik. Berkepribadian dan berpengetahuan. Apalagi apabila tubuhnya gemuk dikit. Tetapi kecantikan itu akan kosong apabila tanpa kepribadian dan pengetahuan. Darsih mempunyai semuanya,” masih suara Adib dalam hati.
Adib memandang Darsih yang wajahnya memerah, bibirnya memerah, karena kepedasan sambal. Sama halnya Adib, bajunya basah kuyub karena keringat membanjiri tubuhnya. Setelah keduanya minum air putih dingin dari kendi. Keduanya merasa lega. Lalu duduk di beranda tamu.
Darsih menceritakan teman-teman seusianya sudah banyak yang pergi, keluar dari desa. Bekerja di kota-kota besar, bahkan ada yang bekerja di negara lain. Kaum muda di desanya sudah enggan menggarap sawah. Dianggapnya sawah sudah tidak bisa dipakai sebagai pijakan masa depan. Maka kaum muda lebih mempercayai industri dan jasa ketimbang garap sawah untuk mengantar masa depan mereka. Pada gilirannya berbondong-bondonglah kaum muda meninggalkan desanya pergi ke kota-kota besar atau ke luar negeri.
Mereka menganggap lebih bergengsi kerja di sektor-sektor industri atau sektor-sektor jasa ketimbang tangan dan kakinya berlumuran lumpur di sawah.
“Tetapi kamu masih tetap tinggal di desa,” kata Adib pelan.
“Ya, orang tuaku, menjual sawahnya untuk biaya kuliahku di kota. Karenanya, ketika aku lulus dari fakultas pendidikan, aku harus kembali ke desa untuk menjadi guru. Untuk mengajar anak-anak desa, mengingat sarjanaku dibiayai dari sawah di desa sini,” suara Darsih menurun. Adib terenyuh hatinya mendengar alasan Darsih masih betah dan kerasan tinggal di desa yang sepi ini.
Darsih menundukkan kepalanya dengan dahinya berkerut. Pikirannya melayang teringat bapak ibunya. Betapa sulitnya bapak ibunya membiayai kuliah untuk dirinya. Sampai-sampai sawah, satu-satunya harta yang dimiliki harus dijual untuk biaya kuliah. Biaya kos, makan, buku-buku, bayar uang kuliah dan segala macam pembiayaan selama kuliah di kota.
“Bagaimana dengan mas Adib sendiri. Apa betah tinggal di daerah yang sepi, seperti di desa sini. Bukankah mas Adib berasal dari kota,” tiba-tiba Darsih bertanya.
Adib sedikit terkejut atas pertanyaan itu. Adib memandang Darsih sejenak. Darsih juga sedang memandang Adib. Kedua pandangan bertemu. Darsih cepat-cepat membuang pandangannya keluar rumah. Adib tersenyum kecil, lalu katanya, “Darsih, aku bekerja sebagai honorer di kabupaten sini, karena menganggur di kota. Pak Lik yang memasukkan kerja di kabupaten. Aku juga menunggu pengangkatan pegawai negeri. Tetapi aku juga tidak tahu kapan itu terjadi. Semua karyawan honorer berpengharapan diangkat menjadi pegawai negeri,” suara Adib makin pelan. Darsih semakin menundukkan kepalanya dalam-dalam.
Suatu malam, bintang-bintang berkerdipan satu dengan yang lainnya di langit, Darsih nonton tv di ruang tamu. Berita di tv menyiarkan bahwa esok sudah jatuh pada bulan ramadhan.Tiba-tiba Adib datang dengan ucapkan uluk salam. Darsih melonjak menyambutnya. Adib langsung membuka beberapa kantong kresek di atas amben di sudut ruangan tamu. Dua ekor ikan bandeng, beberapa bungkus bumbu-bumbu, minyak goreng, beras, gula, teh. Kantong kresek yang satunya berisi dua stel baju tidur bermotiv kembang-kembang, dua kain sarung bantal bermotiv lurik-lurik. Dan kantung kresek yang satunya lagi berisi sebuah radio ukuran kecil yang masih dalam kardus. Setelah semuanya di buka di atas amben, Darsih senang sekali, dan katanya, “terimakasih mas.” Setelah membuka bungkus baju tidur, Darsih masuk ke dalam kamar sejenak, lantas keluar dengan memakai pakaian baju tidur baru.
Tangannya di buka telentang, rambutnya terurai lepas, senyum lebar membuka lesung pipit di kedua pipinya. “Pakaian ini, pantas kan sama aku,” kata Darsih, masih dalam tangan telentang. Kemudian disusul suara tawanya yang panjang. Adib memandang Darsih yang sedang gembira. Lantas Adib mengeluarkan satu bungkus lagi dari saku jaketnya dan diberikan kepada Darsih. Kemudian guru TK itu membukanya, dan ternyata satu bungkus kopi. “Lo mas, aku kan tidak minum kopi,” katanya heran.
“Jadi buat siapa kopi ini,” Adib malahan ganti bertanya.
Darsih memandang Adib dengan tak berkedip, dan kemudian meledaklah tawa Darsih berkepanjangan sambil menubruk Adib dengan mencubit pinggang Adib. Yang di cubit merasa kesakitan sambil mundur beberapa langkah, “Sudah, sudah Darsih,” keluh Adib sembari menyeringai. Darsih menghentikan cubitannya, lalu meletakkan kepalanya di dada Adib. Dibelainya rambut Darsih yang lebat. Kedua tangan Darsih melingkar erat di pinggang Adib sambil berdesis, “Mas Adib duduk dulu ya, aku akan bikinkan segelas kopi,” suara Darsih kalem, dan bergegas ke ruang dapur.
Suara azan isya berkumandang, tanda dimulailah sholat tarawih. Kopi dalam gelas itu sudah habis. Adib dan Darsih berangkat ke masjid.
S e l e s a i
Poedianto, Guru SMK Pariwisata Satya Widya Surabaya.