“ARUS CINTA DI TENGAH ARAL”

admin
admin Maret 27, 2023
Updated 2024/08/29 at 10:48 PM

Oleh : Poedianto

Sore hari, mendung tipis menyelimuti desa. Udara dingin sudah menusuk kulit. Sepeda motor masuk ke halaman rumah yang berada di sudut jalan desa. Gadis berparas manis menjagang sepeda motornya. Dan masuk ke beranda depan dengan menenteng tas kresek berwarna hitam. Lalu mengucapkan uluk salam, terdengar suara salam juga dari dalam rumah. Perempuan setengah baya menyambut gadis manis itu dan mempersilakan duduk di beranda tengah. Keduanya saling menanyakan kesehatannya masing-masing, lantas gadis manis itu menyerahkan tas kresek yang berisi beberapa potong gorengan ote-ote, pisang goreng, dadar jagung dan ketela goreng.

“Maturnuwun gorengannya ya Lastri. E kebetulan bude juga buat kolak waluh kuning,” kata perempuan setengah baya.

“Wah, enak buat buka nanti bude,”

“Ya, nanti Lastri tak beri.”

“Bude, kapan kang Gandung pulang,” tanya gadis manis.

“Dua hari lagi. Nanti kalau sudah di rumah Lastri tak kabari,” jawab perempuan yang dipanggil bude itu sembari memegang lengan Lastri.

Kemudian kedua perempuan itu berbincang dengan gayeng. Sementara mendung semakin pekat. Hembusan angin dingin masuk ke rumah. Pintu dan jendela rumah sudah ditutup oleh perempuan setengah baya. Lastri pamit pulang dengan membawa kolak waluh kuning.


Di rumah kos-kosan, empat orang pemuda sedang berbicara serius tentang upah minimum, uang lembur, tunjangan lebaran dan persoalan-persoalan perburuhan lainnya. Di kampung sebelah timur kota, memang banyak dihuni para pekerja pabrik. Wilayah timur kota itu memang daerah industri. Karena mendekati hari lebaran, pembicaraan para pemuda tadi berfokus pada tunjangan hari raya.

“Barang-barang kebutuhan harganya sudah merambat naik, maka kita minta pada perusahaan untuk menyesuaikan tunjangan hari raya,” kata pemuda yang gempal pendek.

“Apa kau sudah berbicara dengan serikat pekerja,” tanya pemuda yang gemuk.

“Sudah beberapa hari lalu.”

Permasalahan perburuhan tidak pernah tuntas. Ada saja yang muncul. Terkadang masalah upah minimum, cuti hamil bagi pekerja perempuan, pemutusan hubungan kerja dan lainnya lagi.

Gandung hanya mendengarkan saja pembicaraan teman-temannya. Sesekali menganggukkan kepalanya. Setelah tamat sekolah kejuruan, Gandung pergi ke kota dengan beberapa temannya untuk bekerja di pabrik. Di kota banyak pengalaman yang didapat, sehingga wawasannya semakin luas.

Menginjak bulan puasa, pikiran Gandung melayang ke desa, Ingat ibunya, ingat kampung halaman dan ingat kekasihnya, Lastri,


Kereta api berhenti di stasiun. Gandung turun bersama para penumpang lainnya. Hari itu sudah menjelang waktu buka puasa. Dalam pada itu hujanpun turun. Gandung masuk warung yang terletak seberang jalan muka stasiun. Lantas memesan sepiring nasi dan segelas kopi panas.Tak lama kemudian terdengar suara azan dari tv dalam warung. Gandung dan beberapa pengunjung warung lainnya makan untuk buka puasa.

Nasi hangat dengan sayur asam dan brengkes pindang disantap dengan lahap hingga habis. Minum air putih dan menyeruput kopi panas. Lalu asap rokok mengepul.

Tv di warung menayangkan warga yang berdesak-desakan menunggu pembagian amal lebaran dari dermawan. Tua muda, lelaki perempuan, semua berjubel. Bahkan ada seorang ibu yang menggendong anaknya ikut berdesakan. Gandung menggelengkan kepalanya dan membuang penglihatannya ke luar warung. Hujan sudah mulai reda. Sesekali kilat melejit dengan dibarengi suara gemuruh. Gandung keluar warung setelah membayar makanannya. Lalu memanggil tukang ojek untuk mengantar ke desanya.


Hari sudah siang, Gandung baru bangun tidur. Kemudian bergegas ke belakang rumah untuk mengisi jamban dari air sumur yang ditimbanya. Saat itu pula terdengar suara Lastri memanggil dari halaman muka rumah dan berlari menyusul kebelakang lewat pintu butulan dapur.

“Kang Gandung, kenapa tak kasih kabar aku kalau sudah pulang,” suara Lastri sambil bersungut.

“Aku tiba di rumah sudah malam. Lagi pula hujan. Maaf ya Las,” sela Gandung sambil menaruh timba di bibir sumur. Dan katanya lagi, “Aku mandi dulu, kau tunggu di rumah ya.”

Wajah Lastri sumringah ketika berbincang dengan ibu Gandung di dalam rumah. Ibu Gandung hanya senyum-senyum saja karena merasakan betapa kangennya Lastri kepada Gandung. Dalam hati perempuan setengah baya itu penuh maklum, sebab kedua remaja itu sudah cukup lama tidak bertemu. Dulu tatkala masih duduk di bangku sekolah, keduanya sering bertemu dan bergurau bersama. Kini Gandung mencari pengalaman baru di kota untuk bekerja. Sementara Lastri, setelah lulus sekolah masih tinggal di desa, karena membantu orang tua yang membuka toko sembako di samping rumahnya. Keduanya memadu asmara. Keduanya sedang meniti masa depannya. Ibu Gandung mengerutkan dahinya ketika teringat almarhum suaminya saat meminang dirinya. Kala itu umurnya seusia Gandung dan Lastri. Ibu Gandung beringsut mendekati Lastri, lalu dibelainya rambut Lastri yang panjangnya sepunggung itu. Kemudian ibu Gandung masuk ke kamar mengambil sisir, kemudian menyisir rambut Lastri dengan penuh kasih sayang. Lastri sudah seperti anak kandungnya sendiri. Terkadang Lastri juga membantu memasak, mencuci, menyetrika pakaian di rumah Gandung. Bahkan acapkali juga memijat ibu Gandung.


Sore hari, Gandung dan Lastri berboncengan naik sepeda motor. Keduanya pergi ke pasar untuk belanja. Semua kebutuhan dibeli. Kelapa, waluh kuning, pisang kepok, ketela, nangka, gula merah, gula putih, daun pandan, beras, sayur sup, bumbu-bumbu, ikan asin, tahu, tempe, kerupuk dan lainnya. Setelah semua kebutuhan terpenuhi, keduanya langsung pulang ke rumah. Sesampainya di rumah, Ibu Gandung dan Lastri memasak di dapur. Sementara Gandung membersihkan meja dan kursi dengan kain lap.

Setelah seluruhnya selesai, semua makanan diletakkan di meja makan. Ketiganya duduk di kursi makan. Tak lama kemudian suara azan terdengar dari masjid sebelah desa. Ketiganya makan untuk buka puasa bersama. Nasi hangat, sup hangat, gorengan tahu tempe, ikan asin dan sambal tomat. Kolak waluh kuning di mangkuk, asapnya juga masih mengepul.


Tengah malam, terdengar suara kentong titir bersahut-sahutan. Ramai orang berteriak-teriak ada rampok, ada rampok. Suara berisik itu sampai juga di rumah Gandung. Ibu Gandung ketakutan, Gandung keluar rumah, dan menanyakan kepada tetangga sebelah, apa yang sedang terjadi. Namun tiba-tiba Gandung dikejutkan oleh sepeda motor yang melaju kencang dan berhenti di depan rumahnya. Gandung berlari menghampiri, dan yang lebih mengejutkan lagi, pengendara sepeda motor itu memberitahukan bahwa rumah Lastri dirampok. Sontak, Gandung berlari cepat ke rumah Lastri.

Setibanya di rumah Lastri, Gandung melihat ada perkelahian yang tidak seimbang di halaman depan rumah. Satu orang dikeroyok tiga orang. Gandung melihat dengan ketajaman mata, ternyata kakak lelaki Lastri terdesak melawan para perampok. Tanpa pikir panjang, Gandung meloncat dan langsung menyerang dengan kakinya kearah salah satu rampok yang bertubuh tinggi besar. Rampok yang diserang oleh Gandung kaget atas serangan yang mendadak. Rampok itu berguling ke belakang untuk menghindar, namun Gandung yang pandai beladiri silat itu tak membiarkan lawannya luput dari serangannya. Gandung merubah tata geraknya, seketika memutar kaki kanannya dengan cepat mengarah ke kepala lawan. Rampok tak mau kepalanya dihantam oleh kaki Gandung, dengan cepat pula rampok memiringkan tubuhnya untuk menghindar. Tetapi Gandung tiba-tiba meloncat tinggi-tinggi dan menukik dengan cepat menyerang kearah dada lawan memakai tumit kaki. Rampok tak bisa menghindari serangan, tumit kaki Gandung menohok dada lawan. Rampok menyeringai, seolah dadanya tertimpah bongkahan batu besar. Dengan suara mengaduh sambil memegangi dada, rampok terhuyung-huyung ke belakang, lalu ambruk terlentang tak sadarkan diri. Gandung melihat lawannya sudah tak berdaya, lalu mendekat ke area perkelahian kakak lelaki Lastri, yang kini masih menghadapi dua lawan.

“Terimakasih Gandung, kau datang tepat waktu. Kalau tidak, aku tidak tahu apa yang akan terjadi,” suara kakak lelaki Lastri.

“Dimana paman, bibi dan Lastri,” tanya Gandung dengan suara tergetar.

“Ada di rumah sebelah. Mereka ketakutan,” terang kakak lelaki Lastri.

“Kalau begitu, ayo kakang, kita selesaikan yang dua rampok ini,” ajak Gandung. Kakak lelaki Lastri mengangguk sambil menjebol patok pagar untuk senjata. Sementara Gandung mengurai sabuk dari pinggangnya. Sabuk itu diputar dengan cepatnya dan menimbulkan suara yang pekak.

Kedua rampok terheran-heran, tidak percaya kalau temannya yang berbadan tinggi besar itu dapat dikalahkan dengan cepat oleh pemuda desa. Lalu kedua rampok itu mencabut pedang pendeknya untuk menghadapi Gandung dan kakak lelaki Lastri.

Perkelahian tak bisa dihindari. Kedua rampok dengan nafsunya ingin segera menyelesaikan perkelahian ini. Tetapi yang dihadapi adalah pemuda-pemuda desa yang tangguh. Kedua pemuda desa ini adalah teman seperguruan silat di sekolahnya. Keduanya adalah murid dari pendekar ternama di kabupaten ini.

Malam semakin malam, langit juga tertutup mendung. Hanya dengan penglihatan mata yang terlatih akan bisa melihat gerakan di depan.

Tetapi kedua rampok itu juga sudah banyak pengalaman dalam menghadapi segala bentuk perkelahian. Di tengah malam yang gelap perkelahian itu semakin seru. Dua perampok melawan dua pemuda desa. Desak mendesak, saling menyerang. Dan sesekali terdengar suara mengaduh dari mulut perampok karena terkena sabetan sabuk Gandung.

Rupanya kedua rampok itu terdesak karena tidak bisa mengimbangi kemampuan kedua pemuda desa. Dan di beberapa bagian tubuh rampok, kulitnya melepuh terkena cambukan sabuk Gandung.

Kedua rampok menyadari keadaannya, kemudian keduanya meloncat ke rerimbunan semak belukar dan melarikan diri melewati gelapnya malam. Gandung dan kakak lelaki Lastri termangu-mangu. Bertepatan dengan itu, berbondong- bondong warga yang dipimpin kepala dusun masuk ke halaman rumah Lastri. Kepala dusun menanyakan segala sesuatunya kepada kakak lelaki Lastri dan Gandung. Rampok yang tak sadarkan diri sudah siuman, kemudian digelandang ke pendopo desa. Lantas kakak lelaki Lastri mengetuk pintu rumah.

“Lastri, Lastri buka pintunya. Ini kakang dan Gandung,” suara kakak lelaki Lastri dengan nada tinggi. Kemudian Lastri cepat-cepat membuka pintu, dan menubruk Gandung dengan pelukan erat. Ibu Lastri juga memeluk anak lelakinya. Saat itu juga pecah suara tangis kedua perempuan itu. Tak lama kemudian berdatangan para tetangga untuk membantu segala sesuatunya kepada orang tua Lastri. Memasak air untuk membuat minuman, merebus pisang dan ketela. Lastri juga sibuk membantu di dapur setelah mengobati goresan-goresan luka kakak lelakinya dan Gandung. Ramai rumah Lastri malam itu. Para tetangga berbincang tentang peristiwa yang baru saja terjadi. Udara malam bertambah dingin, para tetangga masih berbincang sambil menunggu datangnya waktu sahur.

Lastri melihat Gandung duduk sendiri sembari memijat-mijat kaki, kemudian menghampiri sambil berbisik, “Kang Gandung ingin aku buatkan apa.”

“Kolak waluh kuning,” jawab Gandung lirih. Mata Lastri memandang Gandung dengan tajamnya, lalu tersenyum manis sambil mencubit pinggang Gandung.

S e l e s a i

Poedianto
Guru SMK Pariwisata Satya Widya Surabaya.

Share this Article
Leave a comment

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *